Thursday 30 July 2020

DIARY PETUGAS HAJI: JURUS TELUNJUK YANG AMPUH

bismillah

Kursi roda merupakan salah satu alat yang cukup dibutuhkan bagi jamaah haji lansia, difabel maupun yang sedang sakit, saat melaksanakan Haji atau umroh. Karenanya, dari pihak Masjidil haram demi Khidmah (kontribusi) untuk jamaah haji maupun umroh, menaruh perhatian yang tidak sedikit. Hal ini bisa dilihat dari ragam fasilitas yang disediakan dalam area Masjidil Haram.

Misalnya, di area dekat Terminal Bab Ali (arah bus bagi jamaah haji embarkasi Surabaya, Lombok dll) terdapat penyewaan kursi roda gratis, cukup dengan menunjukkan paspor kepada petugas Masjid.




Ada juga jasa dorong resmi, biasanya berseragam rompi abu-abu, hijau atau merah yang bertuliskan petugas resmi Masjidil Haram berikut nomor badge nya. Tidak gratis memang, namun cukup membantu sebenarnya. Harga jasanya berada di kisaran 125 Reyal Saudi pada hari-hari musim haji biasa, dan secara resmi naik menjadi kisaran 300an Reyal saat puncak musim Haji.

Di lantai 2,5 (dua setengah) -kami biasanya menyebut begitu, karena letaknya antara lantai 2 dan 3, terdapat pula area tawaf dan sai, khusus menggunakan skuter yang disewakan bagi Jemaah. Cukup membeli tiket pada loket yang tersedia di dua tempat. Di dekat bukit Safa dan Bukit Marwa.

Arti Kursi Roda bagi Petugas Haji

Bagi petugas Haji yang bertugas di Seksus (Sektor Khusus) Masjidil Haram, kursi roda adalah salah satu fasilitas yang cukup penting untuk melayani jamaah haji. Terutama ketika terdapat jamaah yang kelelahan dan tidak sangup melanjutkan ibadah dalam area Masjidil Haram.

Oleh karena itu, selain memiliki kursi roda sendiri, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji juga bekerjasama dengan Pengurus Masjidil Haram dalam penyediaan fasilitas tersebut.

Jadi, petugas haji Indonesia memiliki beberapa kursi roda wakaf milik Masjidil Haram yang dikhususkan bagi jamaah Haji Indonesia.

Nah, rupanya ada juga jasa dorong yang tidak resmi di area Masjidil Haram. Biasanya mereka mematok harga sesuai dengan penawaran. Tidak jarang, mereka adalah anak-anak remaja atau pemuda yang tidak dapat menyewa secara resmi (karena membutuhkan paspor).

Memenangkan Kursi Roda

Di malam kedua saya berjaga di Masjidil Haram, saat tengah menempati Pos Marwa, saya dan seorang rekan Polwan berjaga. Terdapat dua kursi roda yang selalu tersedia di Pos Marwa, mengingat area pintu Marwa adalah salah satu titik strategis untuk menyalurkan berbagai bantuan untuk jamaah.

Datang dua anak remaja Arab, mereka menginginkan kursi roda kami. Karena rekan Polwan tidak bias berbahasa Arab, saya lah yang menangani.

Setelah berdebat, sembari mengancam akan saya laporkan ke Askar (karena mereka adalah jasa dorong non resmi), akhirnya mereka sedikit mundur.

Namun rupanya mereka tak semudah itu menyerah. Rekan polwan mencoba memegang dan menduduki kursi roda milik kami, sambil berulang berkata,”NO!”.

Saya yang sudah jengah dan merasa percaya diri, karena tak mungkin mereka berani memaksa saya, hanya menggoyangkan jari telunjuk, “Ck! Ck!” Bahasa isyarat yang kurang lebih berarti “NO!”.

Akhirnya mereka pergi.

Berhasil!

Jurus Telunjuk, "Ck! Ck!"

Saking terkejutnya rekan polwan saya, ia semangat bercerita pada Petugas Haji lain dari Indonesia, “Ainun hebat loh, bisa ngusir anak-anak nakal itu Cuma pakai telunjuk.” Ia pun menggoyangkan jari telunjuk dan menirukan gaya saya, “Ck! Ck!”.

Beberapa hari kemudian, di saat rehat santai, seorang petugas haji menceritakan. Salah seorang petugas dari tim medis Seksus Masjidil Haram, terpaksa merelakan kursi roda di Pos Marwa. Kalah oleh anak-anak remaja, jasa dorong illegal.

Mendengar itu, rekan polwan saya kembali berseloroh, “Harusnya dia belajar dari Ainun,” ia menepuk Pundak saya setengah tertawa. Sekali lagi ia menjiplak mimic muka dan jari telunjuk dari saya, “Ck! Ck!”.

 

Monday 27 July 2020

Diary Petugas Haji: Menangani Jamaah Pertama

Bismillahirrahmanirrahim


Sebelum jamaah haji tiba, sebagai orang yang baru pertama kali tiba di kota Mekkah, saya dibayangi rasa was-was. Jika untuk diri sendiri saja masih belum menguasai area Masjidil Haram yang sangat luas itu, bagaimana nantinya saya melaksanakan tugas; melayani, melindungi dan membimbing para jamaah haji?
Namun semua petugas “senior” yang pernah bertugas sebelumnya, selalu memiliki jawaban yang sama,”Nanti kalau sudah terjun di lapangan juga tahu sendiri, Mbak”. Dan saya hanya bisa nyengir untuk merespos jawaban semacam ini.

Petugas Haji Mengarahkan Jamaah


Saat belum ada jamaah yang datang, saya sudah melaksanakan umroh untuk haji Tamattu. Dari situ saya benar-benar memahami kenapa jamaah tersesat itu hal biasa. Pertama kali saya umroh, bahkan untuk mencari “pilar hijau” tanda permulaan tawaf saja, saya kebingungan. Saya sempat salah mengira bahwa Rukun Yamani adalah Hajar Aswad. Bagaimana dengan jamaah yang sudah sepuh dan terpisah rombongan? Hm…

Jamaah Pertama
Hari pertama bertugas dalam area Masjidil Haram, saya dapat tugas selama 12 jam untuk stand by di pos-pos tertentu dalam area Masjid. Sudah menjelang selesai bertugas, seorang petugas wanita dari unsur Polisi membawa seorang jamaah laki-laki yang masih muda. Saya perkirakan berumur 40an tahun. Ia mendatangi kami yang berjaga di pos Marwa sembari memberi isyarat mata, bahwa jamaah tersebut mentalnya terganggu.
Walau sudah pernah diberitahu bahwa kemungkinan adanya jamaah haji yang “disorientasi” itu ada, dan bagi yang bertugas di Sektor Masjidil Haram, pasti pernah menghadapinya. Namun saya agak terkejut, karena jamaah haji yang satu ini terbilang cukup muda. Biasanya gangguan mental ataupun disorientasi lebih banyak dialami jamaah haji yang sudah sepuh.
Dari penjelasan petugas tadi, ternyata jamaah tersebut terpisah rombongan, tersesat, sedikit mengalami gangguan mental dan juga memiliki riwayat jantung serta -ia sudah tawaf namun belum melaksanakan Sa’i!
Mas'aa lantai 2 saat sepi jamaah
Saya pun menawarkan diri untuk membantu sang jamaah untuk Sa’i, karena itu memang bagian dari tugas kami sebagai petugas haji. Saya berjalan bersama jamaah tersebut menuju area mas’aa. Sembari saya ajak berkomunikasi, dan mengedukasi seputar tata cara dan tuntunan melaksanakan sa’i.
“Bapak sanggup Sa’I sendiri kan ya ,Pak. Saya tunggu di sini ya (bukit Marwa)” Ujar saya.
Bapak itu tersenyum sembari dua matanya menyipit,”Jangan, Mbak. Saya ada sakit jantung nih”.
Akhirnya saya temani Bapak itu melaksanakan Sa’i. Karena kami masuk dari bukit Marwa, artinya Sa’I baru dimulai setelah kami sampai di bukit Safa. Lumayan lah jaraknya, 450 meter. Kalau plus Sa’i, total 3,5 KM. huhu
Inilah kenapa muncul anekdot di antara para petugas Seksus (Sektor Khusus) Masjidil Haram, “Andai ada namanya {Sa’i Sunnah} sebagaimana tawaf sunnah”. Itu karena seringnya kami terpaksa ikut Sa’i ketika jamaah ingin ditemani. Padahal sekali Sa’I, dengan jalan normal, tanpa istirahat, bisa makan waktu 30 menit-an.
Pintu Keluar Marwa lantai 1, titik poin jamaah selesai Sa'i

Masalah Rumah Tangga
Sembari berjalan menuju Safa, saya ajak mengobrol. Ternyata beliau orang Aceh, istrinya orang Bekasi. Sudah lama menetap di Bekasi. Saya pun bilang, “Oh, suami lon ureng Aceh. Lon Ureung Solo”. Beliau pun ajak saya bicara bahasa Aceh. Dan saya hanya bisa tersenyum sambil bilang,”Lon hanjeut basa Aceh.” Saya nggak bisa bahasa Aceh.
Bapak itu bercerita pada saya, bahwa ia sedang ada masalah rumah tangga. Saat ini ia dan istrinya sedang tidak akur dan berencana untuk cerai. Ia bercerita panjang lebar soal rasa kesalnya dengan sang istri. Lah… malah curhat! Saya hanya menanggapi, “sabar ya, Pak, semoga masalahnya tuntas.”
Setelah beberapa kali bolak balik Safa Marwa, ia nampak menguasai area Mas’aa. “Bapak, Sa’I sendiri sanggup ya pak, saya tunggu di Marwa. Kalau sudah selesai nanti tahalul.”. Alhamdulillah beliau mau Sa’i sendiri.
Saat itu, tiba-tiba seorang jamaah wanita Indonesia mendekati kami, tiba-tiba ia merangkul Bapak tersebut, setelah melihat saya yang berseragam petugas, ia pun menertawakan Bapak itu. “Haha.. kamu nyasar ya…”.
Saya sedikit terhenyak. Mungkinkah itu istri dari jamaah yang saya bimbing sa’i?
“Bu, Bapaknya belum selesai Sa’I, baru 3 kali.” Kata saya.
“Oh, Ya. Lanjut dulu Sa’I nya ya…”
Tak lama berselang, beberapa jamaah mendatangi saya. Setelah bapak itu melanjutkan Sa’I sendiri, beberapa jamaah laki-laki dan perempuan yang ternyata satu rombongan dengan Bapak itu bilang,”Bapak tadi suaminya Ibu itu,” sembari menunjuk jamaah wanita yang tadi menertawakan sang Bapak. “Orangnya agak sakit (mental) memang, tadi terpisah rombongan kami.”
Sembari menunggu Bapak tadi selesai Sa’i, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Justru seperti ada rasa bersalah telah mempertemukan Bapak itu dengan rombongan. Karena rupanya sang Istri ada dalam rombongan tersebut. Sebelumnya saya kira Istrinya tidak ikut Haji. Dan melihat respon sang istri ketika tahu suaminya tersesat, justru ditertawakan. Hmm…
Akhirnya Bapak itu selesai melaksanakan Sa’I dan Tahalul, alhamdulillah rombongannya pun mau menunggunya sehingga bisa pulang ke hotel dengan rombongan utuh seperti semula.
Jamaah Haji Indonesia keluar dari pintu Marwa Lantai 1
Saya dan rombongan itu akhirnya keluar dari pintu Marwa. Masing-masing mengeluarkan sandal maupun sepatu yang dibawa. Bapak itu tiba-tiba mendekati saya, tangannya terulur mencoba memberikan sesuatu untuk saya. Dalam genggamannya ada beberapa lembar Rupiah berwarna biru yang sengaja dilipat.
“Oh, nggak perlu, Pak. Ini sudah tugas saya.” Saya mencoba menolak secara halus.
Jamaah lain ikut berkomentar,”Nggak apa, Mbak, ambil saja.”
“Saya sudah ada yang gaji loh, Pak. Nggak perlu, buat infaq ke yang lain saja.” Saya keukeuh menolak.
Akhirnya ia mengembalikan Rupiah itu ke sakunya, sambil berjalan menuju terminal Ajyad, rombongan itu pamit dan berterima kasih pada saya.
Dalam hati saya berdoa agar Bapak itu lekas sembuh dan permasalahan rumah tangganya terselesaikan.
Amin.

*Mengenang Musim Haji 1440 H / 2019 M

Sunday 26 July 2020

PENGALAMAN JADI PETUGAS HAJI

bismillah


Impian yang Mustahil

Sekitar tahun 2010, mendekati kelulusan setingkat SMA di Pesantren. Saya mencoba menulis impian-impian yang ingin dicapai. Ada semacam quote dari salah seorang Ustadz yang cukup menggugah pola piker saya. Dirimu saat ini (apa yang kamu lakukan, kerjakan, usahakan) adalah dirimu yang ini juga pada sepuluh tahun lagi. Saya pun mengambil kesimpulan bahwa semangat saya saat itu, -jika terus konsisten- akan terwujud di masa depan.
Musim Haji 2019 M
Ada beberapa impian yang cukup konyol saya tulis, salah satunya adalah impian untuk pergi ke Dufan. Hehe. Namun ada beberapa impian yang -dalam pertimbangan saya saat itu- amat sangat mustahil; salah satunya, Haji sebelum umur 30 tahun. Saya tidak ingin berhaji saat fisik telah lemah dan jadi nenek-nenek.
Ternyata impian yang sangat mustahil dalam benak saya sepuluh tahun lalu itu, terwujud Sembilan tahun berikutnya!
Allah memberi jalan yang tiada pernah saya sangka. Usia saya 27 tahun pada 2019. Saya sudah menikah dan memiliki seorang putri berusia 2,5 tahun kala itu. Beberapa malam sebelum pemilihan tenaga musim Haji mahasiswi Indonesia di Mesir, saya terus bermimpi, mimpi berdiri di pelataran Masjidil Haram sembari melihat Ka’bah!
Ternyata impian saya, Allah SWT kabulkan Sembilan tahun kemudian. Tak hanya itu, tak hanya sekadar menunaikan rukun Islam yang kelima, namun ada sebuah rasa yang semakin menggebu ketika saya tak sekedar mendapatkan kesempatan yang -bagi banyak Ummat Islam- harus bertahun-tahun menunggunya. Iya, tak hanya untuk diri sendiri, saya menjadi khadim (pembantu) jamaah Haji!
Sungguh, dua hal itu adalah kemuliaan yang sungguh sulit untuk diabaikan; Haji sekaligus membantu orang yang berHaji!

Menjadi Bagian Sektor Khusus Masjidil Haram
Pertama kali mengetahui bahwa saya di tempatkan di Sektor Khusus Masjidil Haram, tidak ada rasa khawatir. Namun semakin kawan-kawan mahasiswa Temus yang membicarakan, terasa itu adalah pekerjaan yang berat.

Saat Sepi Jamaah, bisa berfoto ria



Namun begitu bergelut pada fakta di lapangan, saya memiliki sebuah kesimpulan; berat atau ringan itu relatif.
Benar bahwa baru pada Tahun 2019 lalu, -musim Haji sebelum adanya pandemi Covid-19 yang amat patut saya syukuri telah diberi kesempatan sebelum musibah itu datang- ada penambahan petugas wanita dalam sektor Khusus Masjidil Haram. Namun yang cukup berbeda pada sector khusus ini, dibanding sector-sektor lain, adalah komposisi petugas yang terdiri dari unsur TNI, Polri, Tenaga Medis dan Mahasiswa maupun mukimin Saudi.
Hal itu karena memang tugas di lapangan, banyak menuntut pekerjaan fisik dibandingkan lainnya. Jadi bias dibayangkan, saya yang bertubuh mungil ini tenggelam saat harus berjejer dengan unsur lain. Hehe.

Sisi Kanan, bangunan baru King Abdullah yang dibuka saat musim Haji


Jadi, berdasarkan kisah-kisah mereka yang pernah Temus sebelumnya, menjadi petugas Haji di Sektor Khusus Masjidil Haram adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan sangat melelahkan. Kalua mau jujur, memang jika diukur secara fisik, memang berat. Kami harus menguasai seluruh area Masjid (jangan dibayangkan seperti saat umroh, karena saat musim Haji, bangunan baru King Abdullah yang memiliki terowongan ke arah Jarwal, sepenuhnya dibuka), belum lagi jarak antar terminal -di mana jamaah sering salah terminal- cukup jauh, belum lagi jika jamaahnya butuh didorong karena memakai kursi roda, dan banyak hal lain yang menuntut kekuatan fisik untuk melayani jamaah Haji.
Setelah merasakan langsung bekerja, menjadi khadim di Aera Masjidil Haram, saya memahami beberapa petugas lain yang mengeluh kecapekan, kelelahan. Namun anehnya, saya tidak merasakan hal itu sama sekali. Memang ada rasa capek secara fisik. Namun seperti ada energi lain yang membangkitkan semangat saya untuk terus berkhidmah dalam area Masjidil Haram. Iya, jujur, saya tidak ada rasa mengeluh atau bahkan menyesal, telah ditugaskan di area Masjidil Haram.
Karena sungguh kenikmatan tiada tara, Allah SWT beri kesempatan untuk senantiasa berjumpa dengan masjidil Haram setiap hari, selama kurang lebih 2 bulan lamanya!

Jamaah Haji dan Kota Mekkah
Kota Mekkah adalah titik poin yang cukup krusial saat musim haji. Terlebih pada area Masjidil Haram, di mana saat prosesi inti ibadah haji, seluruh jamaah haji tumpah ruah menjadi satu. Di satu tempat, satu waktu.
Dan dalam kepadatan prosesi ibadah Haji, area Masjidil Haram adalah area yang sangat memungkinkan bagi mayoritas jamaah Haji untuk kelelahan, terpisah rombongan dan tersesat saat tawaf Ifadhoh, setelah Armuzna .
Oleh karena itu ada tim Khusus yang “berlari” alias nonstop bertugas di Area Masjidil Haram pada hari-hari puncak prosesi ibadah haji. Tim itu disebut “Tim Haramain”, dan saya termasuk di dalamnya.
Mengedukasi Jamaah haji



Armuzna
Saat jamaah haji bertolak ke Arafah, Tim Haramain adalah petugas Haji “terakhir” yang menyapu bersih area Masjidil Haram, memastikan tidak ada jamaah haji yang tercecer maupun tertinggal rombongan menuju padang Arafah.
Baru setelah itu, kami menyusul ke Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian, tim kami adalah petugas haji yang harus stand by pertama, menyambut jamaah haji yang telah bertolak dari Armuzna. Kami diharuskan menjadi orang Indonesia yang terakhir meninggalkan Masjidil Haram sebelum Armuzna, dan menjadi orang Indonesia yang pertama kali sampai Masjidil Haram selepas Armuzna.
Karenanya, selepas Wukuf di Padang Arafah, kami langsung di antar bus khusus menuju Muzdalifah, di saat jamaah Haji melakukan mabit, kami harus langsung berjalan kaki menuju mina, dari Mina melalui beberapa terowongan hingga menuju Jamarat. Sampai Jamarat kurang lebih tengah malam.
Segera setelah itu, sambal berjalan cepat, kami berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Sesampai masjidil Haram, lalu Tawaf Ifadhah dan Sai. Saya selesai sa’I qabla subuh. Jadi, sejak Maghrib selepas wukuf hingga pagi hari Idul Adha, saya terus berjalan dan tidak tidur.
Selepas sholat Id, di masjidil Haram, ternyata tim kami sudah menemukan beberapa jamaah yang tersesat.
Karena tidak ada transportasi umum maupun bus “Solawat”, dan jalanan macet, serta harga taksi yang melambung tinggi, kami antarkan jamaah yang tersesat, menuju Kantor Daker Mekkah.
Kondisi jalanan yang macet mengharuskan kami mencari kursi roda bagi jamaah-jamaah tersebut, kemudian berjalan kaki dan mendorong melalui beberapa turunan tajam.
Selesai mengantar beberapa Jamaah Haji tersebut, kami pun tidak punya pilihan kecuali berjalan kaki menuju hotel kami. Adapun Taksi, bila harga normal 15 Reyal, maka di puncak musim haji menjadi 300 Reyal, saking macetnya jalanan.
Sesampai hotel, jam menunjukkan pukul 11.55 siang. Tim kami yang kelelahan, karena belum istirahat sejak Wukuf di Arafah sepakat untuk memejamkan mata. Namun 5 menit kemudian sebuah pesan masuk: Kepada Tim Haramain, sudah pukul 12.00 siang, saatnya bertugas di Masjidil Haram.
لا حول ولا قوة إلا بالله


Ziarah Masjid Nabawi



*Mengenang Musim Haji 1440 H/2019 M

Friday 12 June 2020

Kesalahan dalam Memahami Hadis Shohih dan Dhoif

bismillah

Kesalahan dalam Memahami Hadis Shohih dan Dhoif[1]
Oleh: Ainun Mardiyah, Lc, Dpl[2]

Dewasa ini, informasi begitu cepat tersebar. Geliat muslim untuk berdakwah melalui medsos maupun pesan pribadi semakin ramai dan banyak diminati. Ini menjadi pedang bermata dua. Bila yang disampaikan adalah sesuatu yang memiliki dasar ilmu yang benar, ini menjadi hal yang baik. Sebaliknya, jika konten yang disampaikan tidak memiliki dasar ilmu yang benar, ini bisa menjadi petaka.
                Salah satu yang agak meresahkan penulis adalah konten-konten yang diusung dengan judul besar “Hadisnya Shohih!”. Dengan dicantumkan sebagai judul besar, seperti barang dagangan yang berkualitas tinggi. Seolah konten yang disuguhkan merupakan sebuah kebenaran/sebuah kesimpulan hukum dengan landasan kuat, lantaran “Hadisnya Shohih!”. Belum lagi jika seseorang (yang tidak bergelut di bidang ilmu agama) menanyakan pada penulis secara pribadi, “Hadisnya shohih tidak?”.
                Apakah Hadis shohih itu menjadi jaminan kesimpulan sebuah hukum? Apakah jika sebuah perkara tidak dilandasi hadis shohih lantas ia tertolak? Jika terdapat hadis yang tidak shohih, apakah tidak boleh diamalkan?
Semoga tulisan ini dapat mencerahkan, selamat membaca.
صحيح البخاري دار الأصيل

Definisi Hadis dan Sejarah Munculnya Sanad
                Hadis merupakan penjelas dari alquran, yang menjadi salah satu sumber hukum agama Islam. Definisi hadis adalah apa yang disandarkan pada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat beliau (fisik maupun budi pekerti) atau yang disandarkan pada sahabat maupun tabiin.
                Selepas wafatnya Nabi SAW, hadis-hadis beliau terekam dalam ingatan para sahabat. Jika seorang sahabat menyampaikan sebuah hadis, maka itu sudah menjadi jaminan bahwa yang ia sampaikan memang bersumber dari Nabi SAW. Sudah menjadi kaidah utama dalam ilmu hadis, bahwa seluruh sahabat Nabi SAW tidak akan berbohong dalam menyampaikan sebuah hadis.
                Namun penyampaian hadis tidak lagi dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan pada generasi berikutnya -sebagaimana yang disampaikan para sahabat-. Beberapa hadis palsu mulai bermunculan, beberapa orang menyampaikan hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, padahal beliau tidak pernah menyampaikannya. Yang demikian disebabkan beberapa hal; seperti fanatisme dalam politik atau golongan, kebodohan dalam ilmua agama, dsb.
                Karena kecurigaan setiap penyampaian hadis, ditakutkan itu adalah hadis palsu, maka barulah setiap orang yang menyampaikan hadis dituntut untuk menyampaikan silsilah riwayat dari siapa ia mendapat hadis tersebut (sanad).
                Dengan adanya sanad, maka sebuah hadis dapat diteliti, apakah benar itu bersumber dari Nabi SAW atau bukan. Jadi, pada mulanya, sanad muncul untuk membedakan apakah hadis tersebut asli atau palsu. Baru kemudian datang era kodifikasi (pencatatan resmi) hadis yang mencapai masa keemasan pada abad ketiga Hijriah.
Ilmu Mustholah Hadis
                Seiring maraknya hadis yang bersanad, muncullah sebuah disiplin ilmu baru untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan sanad dan matan (isi kandungan hadis) atau yang disebut dengan ilmu mustholah hadis. Kitab pertama yang ditulis dalam ilmu mustolah hadis adalah karangan Qadhi Abu Muhammad arRomahurmuzi (350 H).
                Dalam ilmu mustholah hadis, hadis jika ditinjau dari kekuatannya (diterima atau ditolak) untuk menjadi sumber hukum, terbagi menjadi 3: hadis shohih, hasan dan dhoif.
                Hadis shohih adalah yang memenuhi 5 syarat; sanadnya bersambung, seluruh perowinya adil (bukan fasiq) dan juga dhobith (mampu menjaga hadis), tidak syadz (menyelisihi yang lebih kuat), dan tidak memiliki illah (cacat).
                Hadis hasan memiliki kriteria yang sama dengan hadis Shohih, hanya saja memiliki masalah dalam ke-dhobith-annya.
Sedangkan hadis dhoif adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria shohih maupun hasan.
Sebenarnya masih banyak pembagian hadis, namun akan memperpanjang tulisan ini jika harus dituliskan.
Aplikasi Hadis Shohih
                Jika dengan pembagian di atas lantas dipahami bahwa hadis shohih bersumber dari Nabi SAW. Sedangkan hadis dhoif tidak bersumber dari Nabi SAW dan mengamalkannya adalah bid’ah. Ini adalah pemahaman yang keliru.
                Perlu diketahui bahwa hadis maudhu alias hadis palsu adalah hadis yang tidak bersumber dari Nabi SAW, namun disematkan pada beliau. Ini berbeda dengan hadis dhoif, yang masih memiliki kemungkinan bersumber dari Nabi SAW. Hanya saja kemungkinan itu tidak sebesar hadis shohih atau hasan.
Dari pemaparan singkat di atas, perlu diketahui bahwa tujuan pembagian tersebut adalah untuk menentukan kekuatan sebuah hadis. Dengan kata lain, pembagian tersebut bertujuan untuk mengukur kualitas penyampaian sebuah hadis. Bukan untuk menyimpulkan sebuah hukum yang kemudian langsung dapat dipraktikkan. Mengapa demikian?
Karena untuk menyimpulkan sebuah hukum berdasarkan dalil-dalil, merupakan ranahnya fuqaha (ahli fikih). Sedangkan tugas seorang muhaddis (ahli hadis) adalah untuk mengukur kekuatan sebuah riwayat.
Kecuali jika ia menguasai keduanya (fikih dan hadis), barulah ia dapat menyimpulkan hukum dengan dalil-dalil yang ia pegang (dan dengan didukung perangkat ilmu lain sehingga mencapai derajat untuk berijtihad). Di antara ulama yang menguasai keduanya adalah para imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad). Karenanya, mereka berhak untuk menjadi mujtahid yang kemudian melahirkan mazhab masing-masing.
                Kembali kepada aplikasi hadis berdasarkan pembagian di atas (Shohih, Hasan, dan Dhoif), tidak setiap hadis shohih lalu dapat diamalkan begitu saja. Karena masih dibutuhkan perangkat lain untuk mengamalkan sebuah hadis. Di antara perangkat tersebut (yang merupakan ranah utama ahli fikih) adalah; kaidah bahasa Arab, kaidah mengkompromikan hadis, me-nasakh Mansukh (hadis yang lebih akhir menghapus yang sebelumnya), maupun men-tarjih (menentukan mana yang rajih (lebih kuat) dan marjuh) dan sebagainya.
Sebagai contoh misalnya, hadis shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

 حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ المُنْذِرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ [ص:42] مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنْ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
(صحيح البخاري (1/ 41/148)
Arti matan:
Dari Ibnu Umar ra berkata: “Aku naik rumah Hafsah ra karena ada keperluan, aku melihat Rasulullah SAW buang hajat membelakangi kiblat, menghadap ke Syam”
Bandingkan dengan hadis shohih yang diriwayatkan Imam Bukhori di kitab yang sama:

 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا»
(صحيح البخاري (1/ 88/394)
Artinya:
Dari Abi Ayyub al Anshori, bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika kalian buang hajat, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Tapi hadaplah (arah lain) Timur atau Barat”

Jika mengamalkan sebuah hadis shohih adalah sebuah keharusan, bagaimana dengan contoh sederhana di atas? Keduanya sama-sama hadis shohih. Keduanya diriwayatkan oleh seorang Imam Besar dalam ilmu hadis yang juga terdapat dalam kitab yang paling benar setelah alquran, Shohih Bukhori.
Namun hadis pertama menunjukkan bahwa Rasul SAW buang hajat dengan membelakangi kiblat, sedang hadis kedua mengandung perintah untuk tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang hajat. Bagaimana sebenarnya? Bolehkan buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat? Hadis mana yang harus diamalkan? Padahal keduanya sama-sama hadis shohih?
Setelah melalui berbagai proses, fuqaha menyimpulkan bahwa hadis larangan buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat tersebut berlaku jika dilakukan di tempat terbuka seperti padang pasir misalnya. Sedang hadis yang memperbolehkan, berlaku jika buang hajat dengan penghalang yang menutupi.
Begitu pula hadis dhoif, hanya karena ia tidak sekuat hadis shohih, bukan berarti ia dibuang dan tidak dipakai sama sekali. Berikut contoh hadis dhoif yang diamalkan oleh ulama: dalam Sunan atTirmidzi,
 حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ البَصْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الكَبَائِرِ.
وَحَنَشٌ هَذَا هُوَ أَبُو عَلِيٍّ الرَّحَبِيُّ، وَهُوَ حُسَيْنُ بْنُ قَيْسٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الحَدِيثِ، ضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ: أَنْ لاَ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ إِلاَّ فِي السَّفَرِ أَوْ بِعَرَفَةَ.
(سنن الترمذي ت بشار (1/ 259/188)

Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa menjama’ dua sholat tanpa udzur, makai a telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.”
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis tersebut dhoif. Akan tetapi hadis tersebut diamalkan oleh para alhul ilmi (ulama). Oleh karena itu, seseorang dilarang menjama’ dua sholat kecuali ketika safar atau ketika proses ibadah haji di Arafah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: القَاتِلُ لاَ يَرِثُ.
هَذَا حَدِيثٌ لاَ يَصِحُّ لاَ يُعْرَفُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الوَجْهِ وَإِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ قَدْ تَرَكَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّ القَاتِلَ لاَ يَرِثُ
 سنن الترمذي ت بشار (3/ 496/2109(
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi”
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis tersebut tidak shohih dan hanya memiliki satu jalur. Akan tetapi para ulama mengamalkan hadis tersebut. Oleh karena itu, seorang pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari orang yang ia bunuh.
Dari beberapa contoh tersebut, bisa disimpulkan bahwa tidak setiap hadis shohih dapat diamalkan secara langsung. Dan hadis dhoif tidaklah ditolak mentah-mentah begitu saja. Untuk menyimpulkan sebuah kesimpulan hukum, dibutuhkan banyak perangkat yang hanya dikuasai ahli fikih. Sedang tugas seorang ahli hadis adalah mengukur kekuatan sebuah hadis atau riwayat.
Perbedaan Peran Ahli Hadis dengan Ahli Fikih
                Ya, peran ahli hadis berbeda dengan ahli fikih. Ahli fikih memiliki peran untuk fokus dalam kesimpulan hukum. Sedang ahli hadis fokus pada kekuatan riwayat.
                Ibaratnya, ahli fikih adalah dokter. Dan ahli hadis adalah apoteker. Dokter dapat memberi resep yang tepat untuk pasien yang sakit. Dan apoteker dapat membuat ramuan obat yang pas sebagaimana mustinya. Apa jadinya jika seorang apoteker menggantikan dokter atau sebaliknya?
                Masing-masing memiliki tugas dan peran tersendiri. Dan keduanya sama-sama memiliki peran yang penting, yang tidak dapat diabaikan salah satunya. Seorang ahli fikih tidak dapat menyimpulkan sebuah hukum tanpa peran ahli hadis. Dan ahli hadis, tidak boleh menyimpulkan sebuah hukum (kecuali jika ia juga ahli fikih), karena tugasnya adalah mengukur kekuatan sebuah riwayat.
                Dalam muqaddimah kitab الجرح والتعديل  yang ditulis oleh Ibnu Abi Hatim diceritakan, Ishaq bin Rohuyah bercerita bahwa saat berada di Iraq ia pernah duduk bersama Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main dan beberapa ahli hadis lainnya. “Kami mempelajari hadis dari beberapa jalur riwayat. Yahya bin Main berkata: jalurnya adalah begini. Lalu aku menimpali: bukankah ini shohih sesuai ijma’ ahli hadis? Semua yang duduk berkata: ya, benar. Lalu aku bertanya: apa maksud hadis ini? Apa penafsirannya? Bagaimana hukum fikih di dalamnya? Semua yang ada terdiam. Hanya Ahmad bin Hanbal yang dapat menjawabnya.”
                Mengapa hanya Imam Ahmad bin Hanbal yang menjawabnya? Karena Imam Ahmad bin Hanbal menguasai fikih dan perangkat ilmu lainnya, sedangkan semua yang duduk di sana adalah ahli hadis. Sehingga mereka tidak berani menjawab atau berbicara mengenai hal yang tidak mereka kuasai. Padahal ulama yang turut di majelis tersebut adalah Imam Besar dalam ilmu hadis, nemun mereka tidak berani berbicara apa yang tidak mereka kuasai.
Ini berbeda sekali dengan saat ini, di mana banyak orang yang tidak berilmu, namun berani berbicara apa yang tidak ia kuasai. Orang yang bukan ahli hadis atau ahli fikih berbicara tentang aplikasi hadis dengan membuat kesimpulan sendiri. Naudzubillahi min dzalik.
Kesimpulan
                Allah SWT berfirman dalam QS An Nahl: 43
            {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

            Artinya:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
                Allah SWT memerintahkan kita, jika menemui permasalahan agar bertanya pada ahlinya. Terlebih dalam ilmu agama, tidak boleh dipermainkan. Karena telah hafal beberapa hadis, lantas berani menyimpulkan sebuah hukum. Selayaknya seorang muslim berlaku sesuai kadar yang ia kuasai. Terlebih jika berbicara dalam urusan agama, tidak boleh serampangan menggunakan ayat alquran maupun nas hadis untuk mendukung pendapatnya.
                Untuk menilai sebuah riwayat atau hadis hingga mencapai derajat shohih, memerlukan proses yang tidak instan. Terlebih untuk menerapkannya, tidak dapat disimpulkan lalu diamalkan begitu saja. Karena untuk mengamalkannya sesuai petunjuk syariatNya, tidak melalui jalan yang instan. Ada banyak perangkat ilmu lain yang harus digunakan; penguasaan Bahasa Arab, cara mengkompromikan dalil, Naskh Mansukh, Tarjih, dan sebagainya, yang mana bukan lagi ranah seorang ahli hadis. Apalagi bukan seorang tholibul ilmi.
                Ahli hadis menggunakan istilah-istilah tersebut (Shohih, Hasan, Dhoif) untuk mengukur kekuatan sebuah hadis. Bukan untuk menyimpulkan sebuah hukum yang dapat diamalkan begitu saja.
Menggunakan dalih “hadisnya shohih” untuk membenarkan sebuah pendapat, bukanlah ranah seorang awam. Ada banyak tingkatan ilmu yang harus dikuasai. Tidak setiap hadis shohih dapat langsung dipraktikkan. Dan sebaliknya, adanya hadis dhoif tidak berarti ia dibuang begitu saja. Berdalih demikian sama saja bertindak serampangan dan mempermainkan hadis Nabi SAW.
Wallahu ta’ala a’lam

Referensi
·         AlQuran
·         صحيح البخاري (دار طوق النجاة) ط الأولى 1422 هـ
·         صحيح مسلم (دار إحياء التراث العربي) بيروت
·         سنن الترمذي (دار الغرب الإسلامي) بيروت 1998 م
·         تحية لأهل الأثر بشرح نزهة النظر للشيخ مصطفى أبو سليمان الندوي (ندوة العلماء)
·         نشأة علم المصطلح والحد الفاصل بين المتقدمين والمتأخرين (أروقة) للدكتور محمد عصام عيدو






[1] Disampaikan dalam Kajian Haramain (Alumni KMI Ngruki 2010), 2 Mei 2020
[2] Kandidat Master Univ. Al Azhar Kairo

Wednesday 3 June 2020

KAJIAN HADIS NISFU SYA'BAN, YANG DIHUKUMI MAUDHU' (PALSU) OLEH SYEH ALBANI

bismillah
KAJIAN HADIS NISFU SYA'BAN, YANG DIHUKUMI MAUDHU' (PALSU) OLEH SYEH ALBANI
-----------------------------
Hj. Ainun Mardiyah, Lc, Dpl
(kandidat Master Jurusan Ilmu Hadis, Universitas Al Azhar, Kairo.)

Terdapat beberapa informasi yang tersebar menyatakan bahwa hadis-hadis yang menjadi landasan tentang keutamaan malam nisfu sya’ban sangat lemah bahkan palsu. Kemudian diambil kesimpulan bahwa melakukan amal ibadah tertentu pada malam tersebut adalah bid’ah dan kemunkaran.

Lalu dikatakan bahwa riwayat yang dijadikan landasan dalil amalan nisfu syaban, hadisnya lemah bahkan palsu.

Selanjutnya, disertakan riwayat Ibnu Majah yang salah satu perowinya adalah Ibnu Abi Sabrah, yang tertuduh berdusta dan memalsukan hadis, sehingga status hadis tersebut adalah maudhu alias palsu.

Ini redaksi hadis tersebut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
(Sunan Ibnu Majah, jilid 1, no 1388, hal 444).

=======================================

KAJIAN:

Sebelum membahas hal ini, perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa hadis dhoif dapat digunakan dalam amalan ibadah sunnah. {Lihat al-Adzkar (hal. 94) dan Majmu Syarh Muhaddzab (jilid 3, hal 226)}.

Sedangkan hadis Maudhu alias palsu adalah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah  , namun disandarkan pada beliau. Sehingga hadis maudhu tidak boleh diriwayatkan, apalagi diamalkan.

Hadis dhoif/lemah adalah hadis yang masih ada kemungkinan berasal dari Nabi, sedangkan hadis maudhu/palsu adalah hadis yang 100% bukan berasal dari Nabi. Karenanya hadis maudhu tidak boleh sama sekali dijadikan landasan amalan. Sedangkan hadis dhoif masih dapat digunakan dalam amalan sunnah.

Oleh karenanya, jika penulis dapat membuktikan bahwa derajat hadis Ibnu Majah yang dicantumkan adalah hadis dhoif (bukan maudhu), maka tuduhan “bid’ah” tersebut akan terbantahkan dengan sendirinya.

KOMENTAR ULAMA AHLUL HADIS TERHADAP IBNU ABI SABRAH:

Dalam ilmu mustolah hadis, komentar/kritik dari para ulama ahli hadis merupakan referensi utama untuk mengetahui dan menghukumi status seorang perowi.

Dalam proses pencarian status perowi tersebut, tidak boleh hanya mencomot sebagian perkataan ulama hadis, tanpa mempertimbangan ulama hadis lainnya.

Berikut penulis cantumkan komentar ulama-ulama ahli hadis tentang Ibnu Abi Sabrah:
(berikut penulis sengaja tidak menerjemahkan sebagian istilah-istilah dalam ilmu mustolah hadis, karena jika diterjemahkan, butuh penjelasan yang panjang)

1. Madrasah Mutasyaddid (Ulama yang ketat dalam mengkritik perowi) :
- Ibnu Main: لَيْسَ حَدِيْثُه بِشَيْءٍ، ضعيف الحديث
- Imam Nasai:  مَتْرُوْكٌ.

2. Madrasah Mu’tadil (Ulama yang objektif dalam mengkritik perowi):
- Imam Ahmad: كَانَ يَضَعُ الحَدِيْثَ
- Ibnu ‘Adi: وَهُوَ فِي جُمْلَةِ مَنْ يَضَعُ الحَدِيْثَ
- Imam Bukhori: Hadisnya dhoif.
- .Imam adDzahabi: Ia dhoif dari segi hafalannya.
- Ibnu Hajar alAsqalani: Dituduh memalsukan hadis, kata Mus’ab azZubairi: Ia seorang yang alim.

Dalam komentar para ulama di atas, ditinjau dari segi ilmu mustolah hadis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Abi Sabrah tertuduh melakukan pemalsuan hadis, sehingga statusnya adalah Matruk. Sedangkan hadis Matruk merupakan bagian dari hadis dhoif. Bukan maudhu/palsu.

Sekalipun ia pernah tertuduh melakukan periwayatan palsu, namun dalam riwayat Ibnu Majah -yang mencantumkan seputar amalan nisfu sya'ban ini-, tidak ada keterangan dan bukti bahwa dalam riwayat tersebut ia palsukan.

Sehingga tuduhan bahwa riwayat Ibnu Majah tersebut adalah hadis maudhu/palsu, terbantahkan. Karena tidak ada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Disamping itu pula, terdapat banyak sekali riwayat-riwayat lain yang menerangkan keutamaan malam nisfu sya’ban, -namun penulis tidak cantumkan di sini, karena akan memperpanjang tulisan-. Sehingga melemahkan pendapat bahwa hadis tersebut adalah hadis maudhu/palsu.

Bahkan Syeh Albani mengatakan bahwa seluruh ulama hadis sepakat bahwa sanad (jalur periwayatan) hadis tersebut adalah dhoif/lemah.

Anehnya, secara pribadi beliau menganggap sanad hadis itu adalah palsu, meskipun seluruh ulama telah sepakat bahwa sanadnya dhoif, bukan maudhu/palsu.

Karena hal ini pula, dalam standar pembelajaran universitas Al Azhar Kairo, pendapat pribadi Syeh Albani tidak dapat menjadi rujukan dalam menghukumi status sebuah hadis.

Status hadis hanya dapat ditentukan setelah melalui proses penelusuran kritik sanad dan perowi secara komprehensif dengan referensi-referensi ilmiah, sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Wallahu ta’ala a’lam.

Referensi:

- سلسلة الأحاديث الضعيفة (5/154)
- سير أعلام النبلاء ط الرسالة (7/ 330/116)
- تاريخ الإسلام ت بشار (4/ 553/458)
- تاريخ بغداد ت بشار (16/ 536)
- تقريب التهذيب (ص: 623)

Sunday 31 May 2020

Make Up dan Skincare: Tampil Cantik dalam Pandangan Syariat


Make Up dan Skincare:
Tampil Cantik dalam Pandangan Syariat[1]
Oleh: Ainun Mardiyah, Lc. Dpl.[2]

Ingin tampil cantik dan merawat diri merupakan kodrat alami setiap wanita. Di setiap tempat dan setiap masa, selalu ada resep maupun alat bagi wanita untuk mempercantik dan merawat diri. Tak terkecuali pada masa kini, make up dan skincare (dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya) terdengar familier di kalangan kaum hawa, sebagai sarana untuk merawat dan mempercantik diri. Khususnya pada wajah yang merupakan pusat kecantikan wanita.
Bagaimana agama Islam -yang memberi petunjuk di setiap sendi kehidupan- memandang hal ini?
Bolehkah seorang muslimah menggunakan make up dan skincare di wajahnya? Adakah batasan atau panduan khusus bagi wanita muslimah untuk merawat dan mempercantik diri? Apakah menggunakan produk-produk tersebut berdampak pada ibadah yang dilaksanakan?

Google image



Wajah Wanita, Aurat?
Sebelum membahas tentang penggunaan make up dan skincare pada wajah, perlu terlebih dahulu memahami seputar wajah wanita dalam pandangan Islam; apakah termasuk aurat -yang wajib ditutupi- atau bukan.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita merupakan aurat bagi laki-laki ajnabi/asing (non-mahrom) kecuali wajah dan telapak tangan (dalam situasi tidak ada fitnah).

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ: أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِيَابٍ شَامِيَّةٍ رِقَاقٍ، فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْأَرْضِ بِبَصَرِهِ، وَقَالَ: «مَا هَذَا يَا أَسْمَاءُ؟ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَا يَصْلُحُ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا» . وَأَشَارَ إِلَى كَفِّهِ وَوَجْهِهِ [سنن أبي داود (4/ 62/ رقم 4104الآداب للبيهقي (241) شعب الإيمان (10/ 219/ رقم 7409)]
Artinya:
Dari Aisyah Ummul Mukminin ra: Bahwasanya Asma binti Abu Bakar datang padanya, dan ia sedang Bersama Nabi SAW, dengan mengenakan baju tipis dari Syam. Maka Rasulullahh SAW menundukkan pandangan dan berkata,”Apa ini wahai Asma? Sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini” Beliau menunjuk telapak tangan dan wajahnya.

Meski demikian ada juga yang berpendapat bahwa wajah wanita juga termasuk aurat.
Namun terlepas dari perbedaan pendapat; apakah wajah wanita termasuk aurat bagi laki-laki asing (non-mahrom) atau tidak termasuk. Semua sepakat bahwa memandang tanpa keperluan, baik laki-laki terhadap wanita maupun sebaliknya, adalah dilarang.
Allah SWT berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ..إلخ[النور: 30، 31]
Artinya:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. AnNur: 30-31)
Perintah untuk menjaga pandangan, tidak hanya berlaku bagi laki-laki kepada wanita, namun berlaku juga sebaliknya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah memerintahkan Ummu Salamah dan Maimunah untuk menggunakan hijab saat ada sahabat yang tuna netra.
عَنْ نَبْهَانَ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ، حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ قَالَتْ: فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ مَا أُمِرْنَا بِالحِجَابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْتَجِبَا مِنْهُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ.
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
[سنن الترمذي (4/ 399/ رقم 2778)، سنن أبي داود (4/ 63/ رقم 4112)]
Artinya:
Dari Nabhan Maula Ummu Salamah, ia berkata bahwa Ummu Salamah berkata:Suatu ketika ia dan Maimunah Bersama Rasulullah SAW.Ketika kami Bersama beliau (Rasulullah SAW) datang Ibnu Ummi Maktum (seorang sahabat yang tuna netra) menemui beliau. Itu terjadi ketika telah turun perintah memakai hijab. Rasulullah SAW berkata,”Berhijablah darinya (Ibnu Ummi Maktum)” Aku berkata,”Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta, tidak melihat dan mengetahui kami?” Maka Rasulullah SAW menjawab,”Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat?”

عَنْ عَلِيٍّ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تُتْبِعِ النَّظَرَ النَّظَرَ، فَإِنَّ الْأُولَى لَكَ وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ "
[مسند أحمد (2/ 464/ رقم 1369)]
Artinya:
Dari Ali ra berkata: Rasulullah SAW berkata padaku,”Jangan ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Engkau berhak pada yang pertama dan tidak berhak atas berikutnya.”
Memandang wajah lawan jenis yang diperbolehkan, adalah pandangan seperlunya saja. Hal ini karena dalam kehidupan sosial, tidak dapat dipisahkan adanya interaksi antar manusia. Misalnya dalam jual beli, pendidikan, pengobatan, dsb. Dengan situasi yang demikian, menjadi sebuah keniscayaan diperlukan adanya pandangan terhadap lawan jenis. Baik laki-laki terhadap wanita, atau sebaliknya.
google image
Merawat dan Mempercantik Diri
Ingin tampil cantik merupakan kodrat alami setiap wanita. Terutama pada bagian wajah, karena wajah merupakan bagian tubuh utama yang menjadi pusat pandangan. Agama Islam tidak melarang, namun justru menganjurkan setiap pemeluknya untuk berhias dan merawat tubuhnya.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31) قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ [الأعراف: 31، 32]
Artinya:
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?(QS Al A’raf: 31-32)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: " كَانَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَهُ عَلَى الْبَابِ فَخَرَجَ يُرِيدُهُمْ، وَفِي الدَّارِ رَكْوَةٌ فِيهَا مَاءٌ، فَجَعَلَ يَنْظُرُ فِي الْمَاءِ وَيَسْرِي شَعْرَهُ وَلِحْيَتَهُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَأَنْتَ تَفْعَلُ هَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ، إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى إِخْوَانِهِ فَلْيُهَيِّئْ مِنْ نَفْسِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ»
[اعتلال القلوب للخرائطي (1/ 170/ رقم 352)]
Artinya:
Dari Aisyah ra berkata: Suatu ketika beberapa sahabat Nabi SAW menunggu beliau di pintu. Maka Rasulullah SAW keluar untuk menemui mereka. Di dalam rumah ada bejana berisi air. Lalu Rasulullah SAW melihat air dan menyisir rambut dan jenggotnya. Maka aku (Aisyah ra) bertanya,”Wahai Rasulullah, Engkau berbuat begini?” Beliau menjawab,”Ya, jika seseorang keluar menemui saudaranya hendaklah mempersiapkan dirinya. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
Bahkan Rasulullah SAW memberi teladan bagaimana beliau mempersiapkan diri untuk bertemu orang lain. Ini jika dilakukan tanpa tujuan riya alias memamerkan kecantikan di hadapan orang lain. Jika tujuannya adalah riya, maka segala cara merias diri, otomatis dilarang.
Jika demikian yang diajarkan, bagaimana dengan penggunaan make up atau skincare pada masa kini?
Bagi seorang muslimah, menggunakan sarana apapun untuk mempercantik diri di dalam rumah adalah diperbolehkan. Terlebih jika tujuannya untuk tampil cantik di depan suami.
Namun jika menggunakan make up di luar rumah, yang sudah tentu dapat dilihat oleh laki-laki asing, hal itu juga sah-sah saja dilakukan, selama tidak membuat perhatian lawan jenis akibat riasannya. Yang membuatnya jatuh kepada tabarruj (memamerkan diri di depan lawan jenis).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ، فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ.
[صحيح مسلم (2/ 973/ رقم 407)، سنن أبي داود (2/ 161/ رقم 1809)، السنن الكبرى للنسائي (4/ 13/ رقم 3607)، موطأ مالك (3/ 523)]
Artinya:
Dari Abdullah bin Abbas ia berkata: Suatu ketika Fadl bin Abbas membonceng Rasulullah SAW. Lalu datang seorang wanita dari Khats’am yang menanyakan sesuatu pada Rasulullah SAW. Fadl memandang wanita itu dan wanita itu memandang Fadl. Maka Rasulullah SAW memalingkan wajah Fadl ke arah lain.
Ya, selama riasan wajahnya tersebut tidak mengundang perhatian laki-laki normal, maka hal itu sah-sah saja digunakan. Baik riasan tersebut ditujukan untuk menutup bekas luka/bekas jerawat misalnya, atau untuk sekedar tampil natural, tidak nampak kusam dsb. Bahkan pada masa Nabi pun celak digunakan para wanita untuk berhias.
Meski demikian, ada beberapa hal berkaitan dengan penggunaan make up yang tidak boleh dilakukan.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ، المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ» مَا لِي لاَ أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ.
[صحيح البخاري (7/ 166/ رقم 5943)، صحيح مسلم (3/ 1678/ رقم 120)]
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud ra berkata: (Allah melaknat wanita yang menato dan yang meminta ditato, yang mencukur bulu di wajah dan yang mengikir gigi demi kecantikan, yang merubah ciptaan Allah).
Bagaimana dengan parfum? Parfum dan make up atau skincare nyaris tidak terpisahkan. Ini karena mayoritas produk make up ataupun skincare mengandung parfum.
Sama seperti penggunaan make up dan skincare, parfum juga boleh digunakan oleh wanita di dalam maupun di luar rumah. Namun untuk di luar rumah, harus diperhatikan agar penggunaannya secukupnya saja, misalnya untuk menutupi bau badan yang tak sedap demi kenyamanan orang disekitarnya. Demikian sehingga tidak menarik perhatian laki-laki asing dengan wanginya.
Penghalang untuk Bersuci
Salah satu yang menentukan sah tidaknya bersuci (baik wudhu maupun mandi besar) adalah sampainya air ke kulit. Namun ada jenis make up yang bersifat anti-air (waterproof), tentu hal ini menghalangi sampainya air ke kulit secara langsung. Maka hendaknya wanita yang menggunakan make up yang bersifat waterproof agar menghapusnya dengan maksimal sebelum bersuci.
Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah tekstur make up atau skincare yang sifatnya berminyak (cream) menempel di kulit, maka air tidak meresap langsung ke kulit.
Kalaupun air yang digunakan untuk bersuci tersebut bercampur dengan make up/skincare yang menempel di kulit, maka air yang sampai ke kulit bukan lagi air muthlaq (air asli). Namun sudah menjadi air campuran skincare/make up, sehingga tidak dapat digunakan untuk bersuci menurut mazhab Syafi’i.
Maka sebelum bersuci, pastikan benar bahwa tidak ada bahan berminyak (cream) yang menempel di kulit dengan cara membersihkannya terlebih dahulu. Bisa dengan cara dibilas atau digosok dengan air biasa ataupun dengan bahan khusus untuk menghilangkannya. Jika sudah tidak ada bahan berminyak yang menempel, barulah seseorang dapat bersuci, sehingga air muthlaq (air asli) dapat sampai ke kulit tanpa penghalang.
google image

Kandungan Haram dalam Kosmetik
Dengan adanya beragam jenis kosmetik wajah yang ada, beragam pula komposisi yang terkandung di dalamnya. Apabila sebuah kosmetik memiliki kandungan bahan baku haram, maka para ulama sepakat haram pula penggunaannya.
Akan tetapi jika terdapat komposisi bahan baku haram dalam kosmetik, namun dalam proses pembuatannya telah melewati proses kimiawi (istihalah), maka halal digunakan menurut pendapat  sebagian ulama.
Adapun jika terdapat keraguan akan kandungan bahan haram di dalamnya, dan keraguan tersebut memiliki dasar/bukti, misalnya jika didapatkan informasi dari “pihak terpercaya” bahwa mayoritas perusahaan kosmetik di suatu negara menggunakan bahan baku babi. Maka jika seseorang menggunakan kosmetik dari negara tersebut tanpa tahu pasti kandungan di dalamnya, maka hukumnya makruh digunakan.
Namun jika terdapat keraguan yang tidak berdasar, misalnya terdapat gossip bahwa suatu perusahaan menggunakan bahan baku haram, maka hukumnya tetap halal. Hal demikian karena keraguan yang muncul bukanlah keraguan yang didasari bukti.
Walaupun demikian, penulis secara pribadi lebih menyarankan untuk memilih produk yang sudah jelas kehalalannya. Jika konteksnya di Indonesia, maka produk yang telah mendapat sertifikat halal dari MUI bisa menjadi jaminan. Karena hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath) dalam memilih produk yang halal digunakan.

Kesimpulan
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ.
[سنن الترمذي (4/ 421/ رقم 2819)، مسند أحمد (33/ 159/ رقم 19934)]
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah senang menyaksikan pengaruh nikmatNya pada hambaNya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Islam adalah agama yang sempurna, mencakup segala sisi kehidupan manusia. Syariat Islam juga sejalan dengan fitrah manusia. Karenanya, syariat mengakui adanya kodrat wanita untuk merawat dan mempercantik diri.
Namun bukan berarti membebaskan wanita untuk bersolek sekehendak hawa nafsu tanpa aturan. Oleh karena itu, ada batasan-batasan dan aturan-aturan yang membingkai agar berhias diri tetap terjaga sesuai fitrah manusia.
Bersikap hati-hati (ihtiyath) memang lebih dianjurkan. Akan tetapi hal-hal terkait hukum fikih juga perlu diketahui, agar seseorang tidak menghukumi sesuatu tanpa dasar syariat yang benar.
Akhir kata, penulis memohon maaf bila ada kata yang tidak berkenan, dan terdapat banyak kekurangan atas apa yang disampaikan.

سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ



[1] Disampaikan dalam Kajian online @MuslimahYukBelajar, Sabtu 9 Mei 2020
[2] Kandidat Master Fak Ushuluddin Jurusan Ilmu Hadis, Universitas Al Azhar Kairo