bismillah
Kesalahan dalam Memahami Hadis Shohih
dan Dhoif
Oleh:
Ainun
Mardiyah, Lc, Dpl
Dewasa ini,
informasi begitu cepat tersebar. Geliat muslim untuk berdakwah melalui medsos
maupun pesan pribadi semakin ramai dan banyak diminati. Ini menjadi pedang bermata
dua. Bila yang disampaikan adalah sesuatu yang memiliki dasar ilmu yang benar,
ini menjadi hal yang baik. Sebaliknya, jika konten yang disampaikan tidak
memiliki dasar ilmu yang benar, ini bisa menjadi petaka.
Salah
satu yang agak meresahkan penulis adalah konten-konten yang diusung dengan
judul besar “Hadisnya Shohih!”. Dengan dicantumkan sebagai judul besar,
seperti barang dagangan yang berkualitas tinggi. Seolah konten yang disuguhkan
merupakan sebuah kebenaran/sebuah kesimpulan hukum dengan landasan kuat,
lantaran “Hadisnya Shohih!”. Belum lagi jika seseorang (yang tidak
bergelut di bidang ilmu agama) menanyakan pada penulis secara pribadi,
“Hadisnya shohih tidak?”.
Apakah
Hadis shohih itu menjadi jaminan kesimpulan sebuah hukum? Apakah jika sebuah
perkara tidak dilandasi hadis shohih lantas ia tertolak? Jika terdapat
hadis yang tidak shohih, apakah tidak boleh diamalkan?
Semoga tulisan
ini dapat mencerahkan, selamat membaca.
|
صحيح البخاري دار الأصيل |
Definisi Hadis dan Sejarah
Munculnya Sanad
Hadis merupakan penjelas dari alquran, yang
menjadi salah satu sumber hukum agama Islam. Definisi hadis adalah apa yang
disandarkan pada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat
beliau (fisik maupun budi pekerti) atau yang disandarkan pada sahabat maupun tabiin.
Selepas
wafatnya Nabi SAW, hadis-hadis beliau terekam dalam ingatan para sahabat. Jika
seorang sahabat menyampaikan sebuah hadis, maka itu sudah menjadi jaminan bahwa
yang ia sampaikan memang bersumber dari Nabi SAW. Sudah menjadi kaidah utama dalam
ilmu hadis, bahwa seluruh sahabat Nabi SAW tidak akan berbohong dalam
menyampaikan sebuah hadis.
Namun
penyampaian hadis tidak lagi dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan pada
generasi berikutnya -sebagaimana yang disampaikan para sahabat-. Beberapa hadis
palsu mulai bermunculan, beberapa orang menyampaikan hadis yang disandarkan
kepada Nabi SAW, padahal beliau tidak pernah menyampaikannya. Yang demikian
disebabkan beberapa hal; seperti fanatisme dalam politik atau golongan,
kebodohan dalam ilmua agama, dsb.
Karena
kecurigaan setiap penyampaian hadis, ditakutkan itu adalah hadis palsu, maka
barulah setiap orang yang menyampaikan hadis dituntut untuk menyampaikan
silsilah riwayat dari siapa ia mendapat hadis tersebut (sanad).
Dengan
adanya sanad, maka sebuah hadis dapat diteliti, apakah benar itu bersumber dari
Nabi SAW atau bukan. Jadi, pada mulanya, sanad muncul untuk membedakan
apakah hadis tersebut asli atau palsu. Baru kemudian datang era kodifikasi
(pencatatan resmi) hadis yang mencapai masa keemasan pada abad ketiga Hijriah.
Ilmu Mustholah Hadis
Seiring maraknya hadis yang bersanad, muncullah
sebuah disiplin ilmu baru untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan sanad
dan matan (isi kandungan hadis) atau yang disebut dengan ilmu mustholah hadis.
Kitab pertama yang ditulis dalam ilmu mustolah hadis adalah karangan Qadhi Abu
Muhammad arRomahurmuzi (350 H).
Dalam
ilmu mustholah hadis, hadis jika ditinjau dari kekuatannya (diterima
atau ditolak) untuk menjadi sumber hukum, terbagi menjadi 3: hadis shohih,
hasan dan dhoif.
Hadis
shohih adalah yang memenuhi 5 syarat; sanadnya bersambung, seluruh
perowinya adil (bukan fasiq) dan juga dhobith (mampu menjaga
hadis), tidak syadz (menyelisihi yang lebih kuat), dan tidak memiliki illah
(cacat).
Hadis
hasan memiliki kriteria yang sama dengan hadis Shohih, hanya saja
memiliki masalah dalam ke-dhobith-annya.
Sedangkan hadis dhoif
adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria shohih maupun hasan.
Sebenarnya masih
banyak pembagian hadis, namun akan memperpanjang tulisan ini jika harus
dituliskan.
Aplikasi Hadis Shohih
Jika dengan pembagian di atas lantas dipahami
bahwa hadis shohih bersumber dari Nabi SAW. Sedangkan hadis dhoif
tidak bersumber dari Nabi SAW dan mengamalkannya adalah bid’ah. Ini adalah
pemahaman yang keliru.
Perlu
diketahui bahwa hadis maudhu alias hadis palsu adalah hadis yang tidak
bersumber dari Nabi SAW, namun disematkan pada beliau. Ini berbeda dengan hadis
dhoif, yang masih memiliki kemungkinan bersumber dari Nabi SAW. Hanya saja
kemungkinan itu tidak sebesar hadis shohih atau hasan.
Dari pemaparan
singkat di atas, perlu diketahui bahwa tujuan pembagian tersebut adalah
untuk menentukan kekuatan sebuah hadis. Dengan kata lain, pembagian
tersebut bertujuan untuk mengukur kualitas penyampaian sebuah hadis. Bukan
untuk menyimpulkan sebuah hukum yang kemudian langsung dapat dipraktikkan.
Mengapa demikian?
Karena untuk
menyimpulkan sebuah hukum berdasarkan dalil-dalil, merupakan ranahnya fuqaha
(ahli fikih). Sedangkan tugas seorang muhaddis (ahli hadis) adalah untuk
mengukur kekuatan sebuah riwayat.
Kecuali jika ia
menguasai keduanya (fikih dan hadis), barulah ia dapat menyimpulkan hukum
dengan dalil-dalil yang ia pegang (dan dengan didukung perangkat ilmu lain
sehingga mencapai derajat untuk berijtihad). Di antara ulama yang menguasai
keduanya adalah para imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan
Imam Ahmad). Karenanya, mereka berhak untuk menjadi mujtahid yang kemudian
melahirkan mazhab masing-masing.
Kembali
kepada aplikasi hadis berdasarkan pembagian di atas (Shohih, Hasan, dan
Dhoif), tidak setiap hadis shohih lalu dapat diamalkan begitu saja.
Karena masih dibutuhkan perangkat lain untuk mengamalkan sebuah hadis. Di
antara perangkat tersebut (yang merupakan ranah utama ahli fikih) adalah;
kaidah bahasa Arab, kaidah mengkompromikan hadis, me-nasakh Mansukh
(hadis yang lebih akhir menghapus yang sebelumnya), maupun men-tarjih
(menentukan mana yang rajih (lebih kuat) dan marjuh) dan
sebagainya.
Sebagai contoh misalnya,
hadis shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ المُنْذِرِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ [ص:42] مُحَمَّدِ بْنِ
يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنْ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ،
قَالَ: ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَرَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةِ،
مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
(صحيح البخاري (1/ 41/148)
Arti matan:
Dari Ibnu Umar ra berkata: “Aku naik rumah
Hafsah ra karena ada keperluan, aku melihat Rasulullah SAW buang hajat membelakangi
kiblat, menghadap ke Syam”
Bandingkan dengan hadis shohih yang
diriwayatkan Imam Bukhori di kitab yang sama:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ
اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ،
وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا»
(صحيح البخاري (1/ 88/394)
Artinya:
Dari Abi
Ayyub al Anshori, bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika kalian buang hajat, janganlah
menghadap kiblat atau membelakanginya. Tapi hadaplah (arah lain) Timur atau
Barat”
Jika mengamalkan
sebuah hadis shohih adalah sebuah keharusan, bagaimana dengan contoh
sederhana di atas? Keduanya sama-sama hadis shohih. Keduanya
diriwayatkan oleh seorang Imam Besar dalam ilmu hadis yang juga terdapat dalam
kitab yang paling benar setelah alquran, Shohih Bukhori.
Namun hadis
pertama menunjukkan bahwa Rasul SAW buang hajat dengan membelakangi kiblat,
sedang hadis kedua mengandung perintah untuk tidak menghadap kiblat atau membelakanginya
ketika buang hajat. Bagaimana sebenarnya? Bolehkan buang hajat dengan menghadap
atau membelakangi kiblat? Hadis mana yang harus diamalkan? Padahal keduanya
sama-sama hadis shohih?
Setelah melalui
berbagai proses, fuqaha menyimpulkan bahwa hadis larangan buang hajat
menghadap atau membelakangi kiblat tersebut berlaku jika dilakukan di tempat
terbuka seperti padang pasir misalnya. Sedang hadis yang memperbolehkan,
berlaku jika buang hajat dengan penghalang yang menutupi.
Begitu pula
hadis dhoif, hanya karena ia tidak sekuat hadis shohih, bukan
berarti ia dibuang dan tidak dipakai sama sekali. Berikut contoh hadis dhoif
yang diamalkan oleh ulama: dalam Sunan atTirmidzi,
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ
البَصْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
حَنَشٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى
بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الكَبَائِرِ.
وَحَنَشٌ هَذَا هُوَ أَبُو عَلِيٍّ الرَّحَبِيُّ، وَهُوَ حُسَيْنُ بْنُ قَيْسٍ،
وَهُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الحَدِيثِ، ضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ: أَنْ لاَ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ
إِلاَّ فِي السَّفَرِ أَوْ بِعَرَفَةَ.
(سنن الترمذي ت بشار
(1/ 259/188)
Artinya:
“Dari Ibnu
Abbas ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa menjama’ dua sholat tanpa
udzur, makai a telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.”
Imam Tirmidzi
mengatakan bahwa hadis tersebut dhoif. Akan tetapi hadis tersebut
diamalkan oleh para alhul ilmi (ulama). Oleh karena itu, seseorang dilarang
menjama’ dua sholat kecuali ketika safar atau ketika proses ibadah haji di
Arafah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: القَاتِلُ لاَ يَرِثُ.
هَذَا حَدِيثٌ لاَ يَصِحُّ لاَ يُعْرَفُ إِلاَّ
مِنْ هَذَا الوَجْهِ وَإِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ قَدْ
تَرَكَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّ القَاتِلَ لاَ يَرِثُ
سنن الترمذي ت بشار (3/ 496/2109(
Artinya:
Dari Abu
Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi”
Imam Tirmidzi
mengatakan bahwa hadis tersebut tidak shohih dan hanya memiliki satu
jalur. Akan tetapi para ulama mengamalkan hadis tersebut. Oleh karena itu,
seorang pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari orang yang ia bunuh.
Dari beberapa
contoh tersebut, bisa disimpulkan bahwa tidak setiap hadis shohih dapat
diamalkan secara langsung. Dan hadis dhoif tidaklah ditolak mentah-mentah
begitu saja. Untuk menyimpulkan sebuah kesimpulan hukum, dibutuhkan banyak
perangkat yang hanya dikuasai ahli fikih. Sedang tugas seorang ahli hadis
adalah mengukur kekuatan sebuah hadis atau riwayat.
Perbedaan Peran Ahli Hadis
dengan Ahli Fikih
Ya,
peran ahli hadis berbeda dengan ahli fikih. Ahli fikih memiliki peran untuk fokus
dalam kesimpulan hukum. Sedang ahli hadis fokus pada kekuatan riwayat.
Ibaratnya,
ahli fikih adalah dokter. Dan ahli hadis adalah apoteker. Dokter dapat memberi
resep yang tepat untuk pasien yang sakit. Dan apoteker dapat membuat ramuan
obat yang pas sebagaimana mustinya. Apa jadinya jika seorang apoteker
menggantikan dokter atau sebaliknya?
Masing-masing
memiliki tugas dan peran tersendiri. Dan keduanya sama-sama memiliki peran yang
penting, yang tidak dapat diabaikan salah satunya. Seorang ahli fikih tidak
dapat menyimpulkan sebuah hukum tanpa peran ahli hadis. Dan ahli hadis, tidak
boleh menyimpulkan sebuah hukum (kecuali jika ia juga ahli fikih), karena
tugasnya adalah mengukur kekuatan sebuah riwayat.
Dalam
muqaddimah kitab الجرح والتعديل yang ditulis oleh Ibnu
Abi Hatim diceritakan, Ishaq bin Rohuyah bercerita bahwa saat berada di Iraq ia
pernah duduk bersama Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main dan beberapa ahli hadis lainnya.
“Kami mempelajari hadis dari beberapa jalur riwayat. Yahya bin Main berkata:
jalurnya adalah begini. Lalu aku menimpali: bukankah ini shohih sesuai ijma’
ahli hadis? Semua yang duduk berkata: ya, benar. Lalu aku bertanya: apa maksud
hadis ini? Apa penafsirannya? Bagaimana hukum fikih di dalamnya? Semua yang ada
terdiam. Hanya Ahmad bin Hanbal yang dapat menjawabnya.”
Mengapa
hanya Imam Ahmad bin Hanbal yang menjawabnya? Karena Imam Ahmad bin Hanbal
menguasai fikih dan perangkat ilmu lainnya, sedangkan semua yang duduk di sana
adalah ahli hadis. Sehingga mereka tidak berani menjawab atau berbicara
mengenai hal yang tidak mereka kuasai. Padahal ulama yang turut di majelis
tersebut adalah Imam Besar dalam ilmu hadis, nemun mereka tidak berani berbicara
apa yang tidak mereka kuasai.
Ini berbeda
sekali dengan saat ini, di mana banyak orang yang tidak berilmu, namun berani
berbicara apa yang tidak ia kuasai. Orang yang bukan ahli hadis atau ahli fikih
berbicara tentang aplikasi hadis dengan membuat kesimpulan sendiri. Naudzubillahi
min dzalik.
Kesimpulan
Allah SWT berfirman dalam QS An Nahl: 43
{فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
Artinya:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Allah
SWT memerintahkan kita, jika menemui permasalahan agar bertanya pada ahlinya.
Terlebih dalam ilmu agama, tidak boleh dipermainkan. Karena telah hafal
beberapa hadis, lantas berani menyimpulkan sebuah hukum. Selayaknya seorang
muslim berlaku sesuai kadar yang ia kuasai. Terlebih jika berbicara dalam
urusan agama, tidak boleh serampangan menggunakan ayat alquran maupun nas hadis
untuk mendukung pendapatnya.
Untuk
menilai sebuah riwayat atau hadis hingga mencapai derajat shohih,
memerlukan proses yang tidak instan. Terlebih untuk menerapkannya, tidak dapat
disimpulkan lalu diamalkan begitu saja. Karena untuk mengamalkannya sesuai
petunjuk syariatNya, tidak melalui jalan yang instan. Ada banyak perangkat ilmu
lain yang harus digunakan; penguasaan Bahasa Arab, cara mengkompromikan dalil, Naskh
Mansukh, Tarjih, dan sebagainya, yang mana bukan lagi ranah seorang
ahli hadis. Apalagi bukan seorang tholibul ilmi.
Ahli
hadis menggunakan istilah-istilah tersebut (Shohih, Hasan, Dhoif) untuk
mengukur kekuatan sebuah hadis. Bukan untuk menyimpulkan sebuah hukum yang
dapat diamalkan begitu saja.
Menggunakan
dalih “hadisnya shohih” untuk membenarkan sebuah pendapat, bukanlah
ranah seorang awam. Ada banyak tingkatan ilmu yang harus dikuasai. Tidak setiap
hadis shohih dapat langsung dipraktikkan. Dan sebaliknya, adanya hadis dhoif
tidak berarti ia dibuang begitu saja. Berdalih demikian sama saja bertindak
serampangan dan mempermainkan hadis Nabi SAW.
Wallahu
ta’ala a’lam
Referensi
·
AlQuran
·
صحيح البخاري (دار طوق النجاة) ط الأولى 1422 هـ
·
صحيح مسلم (دار إحياء التراث العربي) بيروت
·
سنن الترمذي (دار الغرب الإسلامي) بيروت 1998 م
·
تحية لأهل الأثر بشرح نزهة النظر للشيخ مصطفى أبو
سليمان الندوي (ندوة العلماء)
·
نشأة علم المصطلح والحد الفاصل بين المتقدمين
والمتأخرين (أروقة) للدكتور محمد عصام عيدو